Wanita yang gemar baking ini harus mencopot status sebagai corporate lawyer demi mengejar passion, yang dia sendiri tidak tahu akan berhasil atau tidak di masa sekarang.
Tissa,
mengatakan, keinginan itu tahu-tahu saja muncul setelah mengakses situs
toko cokelat langganan dia di Swis. Cokelat itu sangat halus, kaya
rasa, dan dia mengaku belum pernah makan cokelat se-premium ini
sebelumnya.
"Waktu pesan lagi, harganya tinggi sekali. Pas cek website-nya, ternyata mereka ambil cokelat dari Indonesia, dari Jember," kata Tissa saat berbincang dengan di Jalan Barito, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Perasaan Tissa campur aduk saat itu. Kaget, sedih, sekaligus bangga bahwa cokelat favorit dia selama ini, yang menjadi best collection dan top rank di toko tersebut, berasal dari tanah kelahiran dia sendiri.
"Waktu pesan lagi, harganya tinggi sekali. Pas cek website-nya, ternyata mereka ambil cokelat dari Indonesia, dari Jember," kata Tissa saat berbincang dengan di Jalan Barito, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Perasaan Tissa campur aduk saat itu. Kaget, sedih, sekaligus bangga bahwa cokelat favorit dia selama ini, yang menjadi best collection dan top rank di toko tersebut, berasal dari tanah kelahiran dia sendiri.
Ribuan
pertanyaan juga mulai menghantui isi kepala Tissa. Kenapa bisa cokelat
dari Indonesia seterkenal itu di negara orang? Sementara di kandang
sendiri, tidak banyak yang tahu kalau negara mereka menduduki posisi
nomor tiga sebagai penghasil biji kakao terbaik dan terbesar di dunia.judi online
Berdasarkan riset yang dilakukan, Tissa mendapatkan sebuah fakta bahwa Indonesia berada di bawah Pantai Gading dan Ghana. Meskipun yang menempati posisi satu dan dua selalu berubah-ubah, Indonesia tetap bertahan di posisi nomor tiga.
Dari situ jebolan S-1 Hukum Universitas Indonesia tertarik membangun usaha berupa pabrik cokelat yang dia beri nama Pipiltin Cocoa.
"Orang Swis saja mau lho susah-susah import bean. Sedangkan kita, yang istilahnya tinggal ambil dari kebun belakang, masa engga mau memproduksi hal yang sama?," kata Tissa.
Tissa sendiri mengakui, merintis usaha yang bergerak di bidang produksi cokelat itu susah. Tidak heran jika masih sedikit orang yang mau memulai bisnis tersebut. Uang saja tidak cukup, kata dia, karena dibutuhkan dedikasi tinggi agar bisnis ini bertahan cukup lama.
"Prosesnya itu panjang, dari yang masih berbentuk bean sampai menjadi cokelat bar," kata dia.
Pipiltin Cocoa dibangun penuh kesiapan matang oleh Tissa dan rekan yang sekaligus adik kandungnya, Irfan. Keraguan sempat ada tapi keyakinan bisnis ini akan berhasil terus mendorong mereka agar tak gentar.
"(Sebab) kita itu 'kan harus create the market karena pada waktu itu belum ada market atas premium cokelat lokal di Indonesia," kata Tissa.
"Jadi, kita sempat ragu tapi pada akhirnya bertekad untuk maju, untuk membuka pasar sendiri karena kita percaya by demand cokelat yang premium itu permintaannya akan cukup tinggi, baik di Indonesia maupun di luar," ujar dia menambahkan.
Berdasarkan riset yang dilakukan, Tissa mendapatkan sebuah fakta bahwa Indonesia berada di bawah Pantai Gading dan Ghana. Meskipun yang menempati posisi satu dan dua selalu berubah-ubah, Indonesia tetap bertahan di posisi nomor tiga.
Dari situ jebolan S-1 Hukum Universitas Indonesia tertarik membangun usaha berupa pabrik cokelat yang dia beri nama Pipiltin Cocoa.
"Orang Swis saja mau lho susah-susah import bean. Sedangkan kita, yang istilahnya tinggal ambil dari kebun belakang, masa engga mau memproduksi hal yang sama?," kata Tissa.
Tissa sendiri mengakui, merintis usaha yang bergerak di bidang produksi cokelat itu susah. Tidak heran jika masih sedikit orang yang mau memulai bisnis tersebut. Uang saja tidak cukup, kata dia, karena dibutuhkan dedikasi tinggi agar bisnis ini bertahan cukup lama.
"Prosesnya itu panjang, dari yang masih berbentuk bean sampai menjadi cokelat bar," kata dia.
Pipiltin Cocoa dibangun penuh kesiapan matang oleh Tissa dan rekan yang sekaligus adik kandungnya, Irfan. Keraguan sempat ada tapi keyakinan bisnis ini akan berhasil terus mendorong mereka agar tak gentar.
"(Sebab) kita itu 'kan harus create the market karena pada waktu itu belum ada market atas premium cokelat lokal di Indonesia," kata Tissa.
"Jadi, kita sempat ragu tapi pada akhirnya bertekad untuk maju, untuk membuka pasar sendiri karena kita percaya by demand cokelat yang premium itu permintaannya akan cukup tinggi, baik di Indonesia maupun di luar," ujar dia menambahkan.
Jungkir Balik Dunia Tissa
Setelah
gantung jas sebagai pengacara, pelan-pelan Tissa membangun semua
mimpinya. Ada jeda lumayan panjang sampai Tissa dan Irfan memperkenalkan
Pipiltin Cocoa ke masyarakat.
Tak pernah ada di bayangan kalau dia akan mendistribusikan ribuan cokelat bar hasil produksi pabrik sendiri ke berbagai swalayan. Apalagi sekarang, kepakan sayap Pipiltin Cocoa sudah melebar sampai ke Jepang.
Tissa, mengatakan, sempat bikin perencanaan bisnis sederhana agar dia tahu harus bagaimana kalau ternyata Pipiltin Cocoa tidak berjalan semestinya. Di saat yang bersamaan pula, Tissa mulai belajar dengan komunitas-komunitas dari belahan bumi yang lain agar tahu cara mengolah cokelat supaya digemari banyak orang.
"Banyaklah ilmu how to handle chocolate yang saya dapat. Dari mesin apa yang diperlukan, processing seperti apa, benar-benar trail and error saya lakukan," kata dia.
Perempuan berambut pendek ini tak mau setengah hati menghasilkan cokelat yang enak. Dia pun berpatokan pada toko cokelat langganan dia di Swis tersebut.
"Kenapa kalau dia bisa bikin produk cokelat dari kita, kita sendiri malah enggak bisa? Jadi, saya cari cara agar bisa masuk ke pabrik mereka," kata Tissa.
Tentu caranya bukan jadi penyeludup gelap atau melamar sebagai koki di sana. Supaya bisa melihat langsung proses pembuatan cokelat di toko langganan, Tissa sampai harus mengambil sertifikasi Master Chocolatier Sertification di Swis.
Kebetulan pula toko tersebut punya workshop yang cukup konferehensip, yang bisa diikuti oleh siapa saja. Namun, peserta harus mendaftar terlebih dulu dan harus melalui proses wawancara.
"Saya diwawancara guna mengetahui skil saya sudah sampai di mana dan sudah bisa ngapain saja. Untung saya sudah mengubah living room menjadi chocolate room, yang every weekend saya habiskan di sana. Bisa dibilang, jadi chocolate maker-lah," kata Tissa.
Tak pernah ada di bayangan kalau dia akan mendistribusikan ribuan cokelat bar hasil produksi pabrik sendiri ke berbagai swalayan. Apalagi sekarang, kepakan sayap Pipiltin Cocoa sudah melebar sampai ke Jepang.
Tissa, mengatakan, sempat bikin perencanaan bisnis sederhana agar dia tahu harus bagaimana kalau ternyata Pipiltin Cocoa tidak berjalan semestinya. Di saat yang bersamaan pula, Tissa mulai belajar dengan komunitas-komunitas dari belahan bumi yang lain agar tahu cara mengolah cokelat supaya digemari banyak orang.
"Banyaklah ilmu how to handle chocolate yang saya dapat. Dari mesin apa yang diperlukan, processing seperti apa, benar-benar trail and error saya lakukan," kata dia.
Perempuan berambut pendek ini tak mau setengah hati menghasilkan cokelat yang enak. Dia pun berpatokan pada toko cokelat langganan dia di Swis tersebut.
"Kenapa kalau dia bisa bikin produk cokelat dari kita, kita sendiri malah enggak bisa? Jadi, saya cari cara agar bisa masuk ke pabrik mereka," kata Tissa.
Tentu caranya bukan jadi penyeludup gelap atau melamar sebagai koki di sana. Supaya bisa melihat langsung proses pembuatan cokelat di toko langganan, Tissa sampai harus mengambil sertifikasi Master Chocolatier Sertification di Swis.
Kebetulan pula toko tersebut punya workshop yang cukup konferehensip, yang bisa diikuti oleh siapa saja. Namun, peserta harus mendaftar terlebih dulu dan harus melalui proses wawancara.
"Saya diwawancara guna mengetahui skil saya sudah sampai di mana dan sudah bisa ngapain saja. Untung saya sudah mengubah living room menjadi chocolate room, yang every weekend saya habiskan di sana. Bisa dibilang, jadi chocolate maker-lah," kata Tissa.



:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2358357/original/094387400_1536843101-20180913-Cokelat-Pipiltin-7.jpg)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape.png,520,20,0)/kly-media-production/medias/2362940/original/055382600_1537353969-Pipiltin_Cocoa__8_.jpg)





No comments:
Post a Comment